Jumat, 11 Desember 2009

Revitalisasi Teater Tutur Aceh oleh Agus Nur Amal

Revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu metode atau bagian bentuk kerja seni yang dulunya pernah vital/hidup, akan tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Skala revitalisasi ada tingkatan makro dan mikro.

Proses revitalisasi sebuah unit seni mencakup perbaikan aspek fisik, aspek aktifitas kerja dan aspek pengaruh diwilayah sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan dan manfaat) (Danisworo, 2002).

Dalam upaya merevitalisasi bentuk kerja dari kesenian teater tutur Aceh ini, kita perlu mengetahui sejarah kelahiran dari kesenian ini dan apa saja yang telah dicapai dari pengaruh kesenian Teater Tutur Aceh ini.

Sejarah perkembangan seni teater tutur Aceh pada awalnya berangkat dari masa kejayaan aceh yang pada saat itu di kembangkan oleh para raja-raja, salah satu bukti adalah berkembangnya kejayaan kesusastraan pada masa ilmu ada pada lahirnya ilmu tasauf yang di kembangkan oleh para ulama Aceh, seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as Sumatrani dan salah satunya karangan yang dihasilkan diantaranya adalah syair Jawi Fasalfi Bayan Al Suluk Wal Tauhid (abad ke-16 dan 17 M).

Hasil perantauan mereka ke berbagai Negara, terutama ke negeri yang penduduknya banyak beragama Islam menghasilkan Syariful Asyikin, dengan bentuk karangannya yaitu ; Syair Dagang, Syair Siburung Pingai, Syair Perahu, dan Syair Sidang Fakir.(bunga rampai, hal:125)

Gagasan pemikiran ilmu tasauf ini pun akhirnya berkembang di beberapa wilayah Aceh, dengan konsep aplikasi yang bervariasi. Misalnya; di wilayah selatan perkembangan ilmu tasauf ini di pengaruhi oleh wilayah di perbatasan Sumatra Barat dan Sumatera utara, serta selat Malaka-Malaysia. Tanda ini di dasarkan pada banyaknya pendatang yang datang dari Gujarat danTimur -Tengah yang menyebrangi selat Malaka, dan entah bagaimana tumbuh dan berkembang, maka dengan singkat kata muncul lah nama bentuk istilah dengan nama seni dongeng.

Kesenian tersebut kemudian berkembang dan pada akhirnya di beri nama Dangdeuria. Di daerah tringgadeng Kabupaten Pidie Jaya, kesenian tutur ini dinamakan dengan nama Poh Tem[1]. Ada juga disebahagian masyarakat wilayah timur Aceh menyebutnya dengan sebutan, seperti ; Peu haba, Peugah Haba, Phuap, atau yang lebih dekat di artikan sebagai ‘si tukang berbicara’.

“Agus Nur Amal atau yang lebih dikenal sebagai Agus PM Toh, membawakan hikayat dengan berbagai barang bekas di sekitarnya”.

Sejumlah nama yang menghiasi kesenian ini, bagi masyarakat aceh terasa tidak asing lagi untuk mengistilahkan nama seni ini. Sebab ketika memberikan nama pada kesenian ini, masyarakat dengan spontan memberi nama. Penamaan dengan system spontan ini pun tidak memiliki aturan khusus yang berbentuk aturan teknis tradisional atau modern, artinya dengan milihat totonan secara langsung, kemudian mereka menyukai lalu kemudian memberikan sebutan.

Akan tetapi ada yang terlupakan dari semua persoalan penamaan bentuk nama, dari sejumlah nama yang melekat di kesenian ini, ada satu nama yang berbeda dari sebutan orang Aceh pada umumnya, yaitu penamaan Dang Deuria, untuk kesenian teater tutur Aceh ini masyarakat Aceh Selatan menyebutnya dengan sebutan Dang Deuria.

Bagi masyarakat Aceh selatan kesenian dangdeuria ini awalnya lahir dari salah satu naskah Tengku Adnan yang berjudul Hikayat Dang Deria. Tema ini pula yang mengantarkan Tengku Adnan pada naskah yang lain yaitu Hikayat Malem Diwa.kisah Malem Diwa adalah seorang tokoh masyarakat dari kalangan bawah yang di jadikan panutan. Tokoh tersebut sangat cerdik dan licik. Dia selalu berusaha membela kepentingan orang yang lemah.

Entah bagaimana nama tersebut lahir dan entah dari mana asal-usul nama dang deuria ini ada. Yang pasti nama dang deuria ini lahir dari masyarakat Aceh selatan, dan nama tersebut diartikan sebagai kesenian ber “Dendang” sambil bersuka “Ria” oleh sebahagian masyarakat Aceh Selatan.

Sejalan dengan perkembangan dan penyebaran nilai-nilai seni yang dilakukan oleh Tengku Adnan pada masanya. Akhirnya nilai sebutan nama kesenian ini singgah pada nama PM. Toh. Nama ini notabenenya adalah nama dari sebuah Bus Trans Aceh-Medan, yaitu Perusahaan Motor Transport Onderneming Hasan (P.M.T.O.H). yang melintasi rute Banda Aceh-Medan.

“Menurut seorang muridnya, Agus Nuramal, Adnan berkeliling membawa hikayat juga sambil menjual obat. Konon, ketika Adnan berhikayat keliling, dia sering menggunakan sebuah mobil lintas Sumatera. Di samping badan mobil itu bertuliskan PMTOH. Kemudian, di samping kanan-kiri bagian depan mobil terdapat terompet klakson. Katanya, terompet mobil ini akan selau berbunyi saat melintas setiap kampong di Aceh. Si supir sangat suka memainkan klakson mobil itu. Nah, Adnan bisa meniru suara terompet mobil PMTOH itu sambil memencet hidungnya. Hal ini sering dilakukan Adnan saat main hikayat. Dari asal nama mobil yang beroperasi mulai tahun 1970-an inilah gelar PMTOH melekat pada dirinya sehingga namanya lebih dikenal dengan sebutan Teungku Haji Adnan PMTOH”.[2]

Cerita singkat ini mengantarkan Tengku Adnan menapaki karirnya di tahun 1956 di sebuah pasar malam. Ke ingintahuan dirinya akan seni ini terbukti pada saat di undang oleh Panglima Iskandar Muda pada acara Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Dan di undang ke Amerika Serikat di tahun 1968.

Keahlian dalam menuturkan hikayat Aceh ini lah yang menjadi keunikan tersendiri bagi masyarakat Aceh, seni ini kemudian menjadi dikenal oleh kalangan orang yang berniaga dipasar malam dan di tempat-tempat hajatan. Keahlian Tengku Adnan dalam menuturkan cerita hikayat Aceh inilah yang membuat nilai hikayat yang biasa hanya di ucapkan dengan lantunan musikalitas Aceh berubah fungsi menjadi sebuah hikayat yang memiliki alur cerita yang hidup dan memiliki alur plot yang jelas. Keahlian dalam menghidupkan tokoh laku dan keahlian dalam berpantun serta diperkuat dengan keahlian memainkan alat musik dan berimprofisasi sebagai andalan Tengku Adnan.

Kajian ini sebenarnya erat kaitannya dengan pernyataan Jhon C. Sagers seorang Profesor Arkeolog berkembangsaan Amerika yang menjuluki Tengku Adnan sebagai seorang Trobadur Aceh di tahun 1968. Kata Troubadour itu sendiri berasal dari kata Trou"ba*dour`,yang diambil dari suku kata dalam bahasa Inggris, yang artinya “penyanyi keliling”. Karena keahlian Tengku Adnan dalam mendendangkan hikayat dan sembari keliling dari pasar ke pasar, dari tempat hajatan ke tempat hajatan lainnya, maka dengan sering berpindah tempat itulah Tengku Adnan diberi julukan oleh sang Profesor Arkeolog Amerika tersebut sebagai sang Troubador Aceh.

Pernyataan Profesor Jhon C. Sagers ini pun di iakan oleh Agus Nur Amal. Bagi Agus awal ketertarikannya pada Tengku Adnan adalah pada saat dirinya telah lulus di akademi teater di Institut Kesenian Jakarta pada tahun 1991. Setelah masa belajarnya selesai, pada saat itulah dirinya menginginkan untuk belajar teater tutur Aceh.

Pekerjaan sebagai pesuruh Tengku Adnan yang membeli segala bahan baku pembuat ramuan herbal selama satu tahun lebih. Agus merasa banyak hal yang didapat dari magangnya selama hampir satu tahun lebih tersebut. Dari perjalanan akhir dari magangannya, agus mengusulkan pada Dewan Panitia Festival Istiqlal agar kesenian teater tutur Aceh ini dapat dipentaskan di festival Istiqlal tahun 1991.

“Awalnya, saya belajar mendongeng dari penyair Aceh yang bernama Tengku Adnan. Selama satu tahun, saya belajar banyak dari Beliau mengenai tata cara mendongeng yang baik. Setelah itu, saya mulai mendongeng di Aceh. Belakangan, saya diundang ke banyak tempat di luar Aceh, bahkan sampai ke luar negeri”.

Melihat keunikan pertunjukan dari PM.Toh tersebut agus pun menirukan semua gaya bentuk pertunjukan Tengku Adnan, namun pada prosesnya Agus melihat ada kemungkinan lain yang di dapat dari bentuk tampilannya itu, yaitu dari model suara penuturan bawaan hikayat yang di ubah dari model vokalisasi etnis dengan menggunakan bahasa Aceh berganti dengan model vokalisasi dengan bahasa Indonesia dan setting property yang biasanya di isi dengan boneka dan pistol-pistolan, serta baju para tokoh cerita berubah bentuk menjadi kantong kresek dan gayung plastic, serta satu baju khas Aceh.

Cerita hikayat aceh yang penuh dengan legenda keacehan, dengan tema-tema sosial-budaya yang sangat lokal direkontruksi ulang oleh agus sehingga menjadi cerita yang modern dengan pola sosial masyarakat kekinian. Hanya saja symbol-simbol tokoh legenda aceh yang tidak pernah dihilangkan dari cerita hikayatnya. Seperti tema hikayatnya ; Anak Emak Mencari Telur, Hikayat Jenderal Puyer Bintang Toejoeh, dan Hikayat Cincin Setia. Sebahagian cerita hikayatnya menggunakan nama-nama seperti nama Hamzah Fansuri, dan nama-nama aceh lainnya.

Melihat perbandingan yang tidak seimbang antara dirinya dan Tengku Adnan di wilayah kerja pertunjukan, maka pada saat itu Agus memutuskan pada dirinya untuk berteater keliling di wilayah kota Jakarta. Alhasil dirinya mendapat banyak bentuk gaya dari pengalamannya sebagai tukang pendongeng keliling di ibukota besar serta dengan bekal ilmu dari intitutnya sehingga pemaduan metode tradisional dengan metode modern menjadi sebuah tampilan unik disetiap pertunjukannya.

Penganalisaan struktur aktifitas kesenian teater tutur Aceh ini memiliki landasan kreatifitas yang unik juga memiliki nilai budaya yang sangat kaya akan potensi yang dimiliki teater tutur Aceh ini. Apalagi bentuk pertunjukan teater tutur Aceh ini telah di rekontruksi ulang oleh Agus Nur Amal sehingga kesenian ini memiliki nilai estetis yang dapat menambah perbedaharaan potensi kesenian Aceh khususnya.

Dari pengembangan masalah di atas inilah maka penulis mencoba menyusun kerangka penelitian dalam wacana pengembangan pengamatan penulis, maka penulis mencoba menggabungkan wacana tersebut kedalam pokok tema penulisan dengan judul “ Revitalisasi Teater Tutur Aceh Oleh Agus Nur Amal”. Semoga dengan langkah penelitian ini penulis berharap dapat membantu pihak pemda Aceh dalam mendokumtasikan seluruh asset budaya yang dimiliki Rakyat Aceh.

[1] Poh Tem diambil dari dua suku kata “Poh” artinya “puku l” sedangkan “Tem” diartikan “kaleng”. Orang Aceh sering menyebutkan kepada orang yang suka ngomong besar dengan sebutan “Poh Tem”.

[2]http://images.google.co.id/imgres?imgurl=http://lidahtinta.files.wordpress.com/2008/07/adnan-pmtoh-1.jpg&imgrefurl=http://lidahtinta.wordpress.com/2008/07/27/yang-tersisa-dari-pmtoh

By : Rasyidin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar